KH. Ma’shum
Ahmad, lahir dengan nama Muhammadun, adalah sosok Kyai yang alim dan sangat
disegani banyak kalangan. Pendiri Ponpes Al Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa
Tengah ini merupakan ayahanda dari KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, sang
Rais Amm PBNU periode 1981 – 1984 M.
KH. Ma'shum
lahir sekitar tahun 1868 dari pasangan H. Ahmad dan Qosimah. Sulung dari dua
saudarinya, Nyai Zainab dan Nyai Malichah ini memiliki silsilah dan hubungan
darah dengan Sultan Minangkabau, bersambung hingga ke Rasulullah SAW.
Seluruh
hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan
menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli
sejarah terkenal, “Mbah Masum adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang
dikenal di tingkat Nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan
guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”
Pengembara Ilmu
Mbah Ma’shum
merupakan santri dengan tipikal pengembara. Tercatat ada belasan pesantren yang
di datanginya untuk menimba ilmu, dari Jepara, hingga ke Makkah Al Mukarromah.
Oleh kedua orangtuanya, pertama-tama beliau diserahkan kepada Kiai
Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama. Lalu kemudian, pengembaraan
ilmunya sampai di Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj. Ketiganya
merupakan Kyai khos dari Kajen, Pati, Jawa Tengah.
Setelah beberapa tahun berselang, Ma’shum muda sampai di Kudus. Disana
Ia belajar kepada Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin. Lalu kemudian di
Sarang Rembang bersama Kiai Umar Harun, Solo bersama Kiai Idris,
Termas dengan Kiai Dimyati, Semarang kepada Kiai Ridhwan,
Jombang kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Bangkalan kepada Kiai Kholil,
lalu yang terakhir di Makkah, langsung kepada Kiai Mahfudz At-Turmusi.
Ayam Jago dari Tanah Jawa
Mbah Ma’shum,
adalah satu dari beberapa Kyai yang memiliki julukan “binatang”. Tapi tunggu
dulu, yang pasti bukan binatang sembarangan. Mbah Djazuli Ploso misalnya,
mendapat julukan “Blawong” yang berarti burung perkutut mahal yang indah dan
merdu bunyinya. Lalu tentu saja Mbah Ma’shum, dengan julukan “Ayam Jago” yang
diperoleh langsung dari sang guru, Mbah Kholil Bangkalan.
Waktu itu,
sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil ngutus para
santri untuk membuat kurungan ayam. "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam
jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini" kata
Mbah Kholil. Lalu keesokan harinya, Mbah Ma'shum pun datang. Saat itu usianya sekitar 20 tahun, dan
anehnya Ma’shum muda langsung dimasukan ke kurungan ayam itu.
Saat nyantri
di Bangkalan, bukannya menimba ilmu, Mbah Ma'shum malah diperintah oleh Mbah
Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Uniknya, pengajian
dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan
santri-santrinya berada di luar.
Ma’shum muda
hanya 3 bulan nyantri di Bangkalan, meski begitu keilmuan dan kealimannya telah
diakui oleh sang guru. Ketika hendak pulang, sebuah kejadian menarik dialami
oleh Ma’shum muda. Mbah Kholil tiba-tiba memanggilnya, dan tanpa sebab apapun,
Ma’shum didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu setelahnya, saat Ma'shum melangkah
pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan
dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
Lasem Berduka
Kesehatan
Mbah Ma’shum turun drastis sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April
1972 M. Hingga pada akhirnya beliau masuk rumah sakit dr. Karyadi Semarang pada
tanggal 17 September 1972 M selama 10 hari. Tanggal 12 Ramadhan 1932 H atau 20
Oktober 1972 M beliau menyempatkan untuk shalat Jum’at
di masjid Jami’ Lasem. Saat hari itu juga beliau meninggal dunia pada pukul 2
siang. Mbah Ma’shum di
istirahatkan di komplek pemakaman Masjid Jami’ Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Kepergian beliau sangat dirasakan
oleh semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi, para kyai, keluarga, masyarakat
dan para santri. Upacara pemakaman beliau di banjiri oleh para pelayat dari
berbagai daerah.
Wallahu A'lamu Bisshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar