KH. Muhaiminan Gunardo,
Sang Pendekar Bambu Runcing
Jamaah
istigotsah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja menarik napas,
setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Duror. Tiba-tiba terdengar suara
menggelegar di shaf terdepan, sontak membuat semua jamaah tercengang.
Seorang yang
tegap berbaju serba putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk
melantunkan tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Dari perawakan dan
suaranya, orang seakan tak percaya bahwa suara itu keluar dari seseorang yang
usianya telah melampaui 70 tahun.
Beliaulah KH.
R. Muhaiminan Gunardo atau yang lebih akrab disapa dengan Mbah Muhaiminan, Mursyid
Thariqoh kharismatik pendiri Ponpes Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan
Temanggung.
Raden Muhaiminan
Mbah
Muhaiminan adalah satu diantara ratusan Kyai yang memiliki darah biru. Beliau
adalah keturunan Raden Santri seorang waliyullah yang nasabnya masih terambung
hingga Pangeran Diponegoro. Dari jalur ayah, Mbah Muhaiminan adalah putra dari
Raden Abu Hasan, atau yang lebih dikenal dengan nama KH. Sumomihardho, seorang
keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sementara dari ibundanya, Hj. Mahwiyah,
adalah putri Kiai Badrun, tokoh agama yang berpengaruh di Parakan, kampung
halaman Mbah Muhaiminan.
Sejak muda,
Kiai Muhaiminan termasuk santri yang gemar berolahraga. Dengan perawakan yang
tegap dan gagah, Muhaiminan muda cenderung gemar berlatih bela diri, khususnya
pencak silat. Hobi itulah yang selalu menemaninya saat menimba ilmu.
Sang Pendekar menimba Ilmu
Bermula dari
Sekolah Rakyat di temanggung, Muhaiminan muda berhasil menjadi murid teladan di
sekolahnya. Hal itu akhirnya mengantarkan Muhaiminan mengaji kepada KH. Dalhar
alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol, Magelang), ulama besar yang pernah
mengasingkan diri, beribadah di Gua Hira. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai
mursyid Tarekat Syadziliyah yang termasyhur. Dari sinilah, perjalanan Mbah
Muhaiminan dalam menimba ilmu dimulai.
Selesai dari Watucongol,
Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu kepada KH.
Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di Bendo (Pare, Kediri), lalu ke
Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Sesuai hobinya, selain mengaji
ilmu agam di setiap pesantren yang disinggahinya, Muhaiminan muda rutin
mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah menjadi guruny antara
lain adalah KH. Nahrowi atau Ki Martojoto. Muhaiminan juga mendalami ilmu
pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu Ponpes Dresmo
(Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah kanuragannya.
Sang Pendekar
Kemasyhuran Kyai
Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia spiritualitas memang telah
membuah bibir. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang
terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini selalu ramai dikunjungi
orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru ilmu hikmah,
maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Muhaiminan.
Ketika masyarakat
dihebohkan dengan pembunuhan Kyai pada tahun 1999, yang terkenal sebagai “kasus
ninja”, Mbah Muhaiminan menjadi tujuan
utama warga Nahdliyin yang ingin belajar membentengi diri. Seakan telah
mendapat amanah dari Allah SWT, ulama Parakan secara turun-temurun selalu menjadi
benteng pertahanan terakhir umat dalam menghadapi berbagai kesulitan.
Mbah
Muhaiminan merupakan Kyai yang identik dengan ilmu hikmah dan kanuragan. Salah
satu Karomah Kiai khos ini adalah ketika bermain pencak silat, orang
disekitarnya merasakan tanah disekeliling beliau bergetar seperti ada gempa
bumi. Salah satu ilmu andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA yaitu ilmu tenaga
dalam yang dapat memecahkan benda keras dari jarak jauh seperti ilmu yang
dimiliki Mahesa Jenar.
Mursyid Thariqah
Mengikuti
jejak Mbah Dalhar Watucongol,Mbah Muhaiminan juga diangkat menjadi mursyid
Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang bersanad sampai ke
Rasulullah SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Jami'yyah Thariqoh
Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan thoriqoh Syadziliyah.
KH. R. Muhaiminan
Gunardo meninggal di usia 74 tahun, pada 02 Oktober 2007 sekitar pukul 17.45
WIB. Beliau dimakamkan di Komplek Pemakaman Kyai Parak, tidak jauh dari
kediaman beliau. Mbah Muhaiminan merupakan seorang tokoh panutan yang sangat
dikenal masyarakat luas. Selain itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan
spiritual bagi kehidupan masyarakat. []
AIS Jawa Tengah
Kyaiku...
BalasHapus