Mbah Mad Watucongol, Lumbung Do’a yang Mustajab
KH. Ahmad Abdul Haq atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Mad merupakan salah satu kyai Kharismatik yang cukup berpengaruh di wilayah Kedu. yang dilahirkan pada tahun 1928 ini merupakan generasi keempat pengasuh pondok pesantren Darussalam Watucongol, Gunungpring, Muntilan. Sebuah pesantren yang didirikan oleh kakek buyutnya yakni Kiyai Abdurrauf Bin Hasan Tuqa, pada tahun 1820 M. Abdurrauf adalah seorang senopati dalam perang Diponegoro. Nasab Hasan Tuqa ini sampai kepada Amangkurat III. Sebagai keturunan raja, Hasan Tuqa juga memiliki nama lain, yaitu Raden Bagus Kemuning. Pesantren Abdurrauf ini kemudian dilanjutkan oleh putranya yaitu Abdurrahman. Pada masa kepemimpinan Abdurrahman letak pesantren bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren. Sementara ketika KH. Dalhar dewasa ia juga melanjutkan pesantren ayahnya, tempatnya juga dipindah ke arah barat, dikarenakan pondok pertama yang dibangun oleh ayahnya terkena lava Merapi yang meletus tahun 1920. Setelah KH. Dalhar meninggal pada tahun 1959, Mbah Mad melanjutkan kepengasuhan pesantren sekaligus Mursyid Thoriqah Syadziliyah yang jamaahnya telah menyebar ke berbagai wilayah. Selain itu putra pertama dari pasangan KH. Dalhar dan Nyai Kamaliyah Dalhar ini lebih dikenal dengan riyadhah melekan malamnya, serta kekaromahannya yang dapat mengetahui makam para wali Allah.
Dalam perkembangan agama Islam di Magelang beberapa peran yang dilakukannya begitu positif, sehingga para jamaah atau santri yang telah lulus dapat membina masyarakat menjadi lebih baik. Dengan jangkauan dakwah Mbah Mad yang cukup luas, maka tidak heran apabila jamaahnya berasal dari latar belakang yang beragam. Apalagi dengan metode pendekatan dakwah yang halus, tanpa pemaksaan membuatnya dapat diterima oleh siapapun. Alkisah, suatu hari Mbah Mad di datangi tamu yang beragama non Islam. Tamu tersebut meminta di doakan agar usahanya menjadi lancar. Dengan ketulusan dan keluasan hatinya beliau mendoakan, dan memberikan amalan shalawat. Tiga bulan kemudian tamu tersebut menghadap beliau sebab usahanya telah kembali lancar. Selain itu dalam kisah yang lain ada seorang cina yang mengalami kebangkrutan, kemudian sowan ke Mbah Mad. Sesampainya disana Mbah Mad menyuruh ziarah ke makam Mbah Dalhar di Gunung pring. Orang Cina tersebut lalu menanyakan harus membaca bacaan apa. Kemudian Mbah Mad berkata “rasah moco opo-opo seng penting ziarah”. Beberapa bulan kemudian orang tersebut sowan ke Mbah Mad karena usahanya telah kembali sukses. Begitulah beberapa perilaku para wali yang telah mempunyai kedekatan hati dengan Allah SWT, sehingga ketika meminta kepadaNya, niscaya akan dikabulkannya.
Selain itu berdasarkan cerita dari menantunya, KH. Achmad Chalwani, Berjan, pada suatu hari beliau didatangi seorang tamu dari Boyolali yang mempunyai keinginan untuk menjalankan rukun Islam yang kelima yaitu haji, namun orang tersebut bersikeras tidak berkeinginan untuk menjalankan shalat. Sebelum sowan ke tempat Mbah Mad, tamu tersebut telah sowan kebeberapa kyai, namun kyai-kyai yang lain menganjurkan untuk menjalankan sholat, seakan tidak merestuinya. Kemudian tamu tersebut sowan ke tempat Mbah Mad. Sesampai ditempat Mbah Mad, ia mendapatkan restu untuk melaksanakan Ibadah haji tanpa harus menjalankan sholat. Akhirnya tamu tersebut melaksanakan Ibadah haji. Sesampainya di Madinah ia melihat semua orang melaksanakan Sholat. Di waktu-waktu awal sampai Madinah ia masih nyaman dengan kebiasaannya tidak melaksanakan sholat. Namun setelah 2 hari di Madinah saat melihat semua jamaah melaksanakan shalat ia merasa menyesal kemudian menangis, menyesali atas tindaknnya tersebut. Akhirnya ia meminta Mbah Mad untuk mengajarinya sholat. Kemudian setelah pulang dari ibadah haji Ia dalam melaksanakan sholat lebih tertib dibandingkan masyarakat yang lain. Begitulah keluasan hati dan kesabaran seorang kyai dalam menghadapi masyarakat yang memiliki kepribadian yang beraneka ragam untuk senantiasa mendekatkan diri melalui ajaran agama.
Selain itu dalam berdakwah beliau mempunyai metode ceramah dengan bahasa yang mudah diterima masyarakat awam. Misalnya dalam mengajak untuk berdzikir beliau sering mengumpamakan dengan bahasa yang bijak seperti “Sholat tanpo wiridan koyo kapal tanpa muatan, mongko biso oleng”, Barang siapa sholat namun tidak melaksanakan dzikir setelahnya maka ibarat sebuah kapal tanpa muatan yangmana dapat mengakibatkan ketidak seimbangan.
Menurut KH. Ali Qaisar atau Gus Ali, putranya, Mbah Mad juga diyakini memiliki ilmu laduni. Pasalnya, ia tidak pernah mondok. Meski pernah mondok di Pesantren Al-Wahdah Lasem yang saat itu diasuh KH Baidlawi, namun Mbah Mad hanya bertahan tidak lebih dari seminggu. Dalam masa kecilnya Mbah Mad lebih banyak berguru langsung ke pada ayahnya sendiri.
Sepanjang perjalanan hidupnya dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat. Dalam mengemban tugas mulia mengajarkan ajaran-ajaran syar’i. Mbah Mad seolah tidak mengenal tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan di tempat yang sukar dilalui kendaraan, ia tetap bersedia dengan berjalan kaki. Terhadap masyarakatpun tidak pilih kasih. Walaupun sering di kunjungi oleh pejabat Negara seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Jusuf Kalla, Wiranto, Akbar Tanjung, Susilo Bambang Yudhoyono dan tokoh-tokoh lainnya, terhadap masyarakat kecilpun beliau penuh kasih sayang terutama anak kecil. Sebagaimana dituturkan oleh KH. Achmad Chalwani, suatu ketika setelah turun dari pengajian dari kejauhan terlihat ada anak kecil yang merengek-rengek ingin mencium tangannya, namun kelihatannya orang tuanya kurang mengetahuinya. Kemudian Mbah Mad mendatangi anak kecil tersebut untuk bersalaman. Dilain waktu beliau menjelaskan bahwa anak kecil itu doanya mudah terkabulkan karena belum menanggung dosa. Begitulah akhlak beliau walaupun terkenal dengan do’a nya yang mustajab tapi tetap memiliki sikap tawadhu yang tinggi.
Mbah Mad menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Harapan Kota Magelang, pagi sekitar pukul 05.50 WIB, Kamis, 8 Juli 2010 lalu. Hadir dalam acara pemberangkatan jenazah di antaranya KH Maimun Zubair dari Sarang, KH Hamid Baidlawi (Rembang), Drs H Lukman Saifuddin Zuhri (Wakil Ketua MPR RI), Bupati Magelang Ir H Singgih Sanyoto, Bupati Wonosobo, Walikota Magelang, Ketua DPRD Kabupaten dan Kota Magelang, serta para jamaah thoriqah sadziliyyah. Dan sampai saat ini makam Mbah Mad masih ramai didatangi oleh para peziarah dari berbagai daerah.
A.Rifaai, Santri An Nawawi Berjan Purworejo, anggota AIS Jawa Tengah
Suara merdeka edisi Jum'at 13 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar