Bangunan jejaring ulama yang
telah dibangun oleh Walisongo dan generasi
berikutnya telah menjadi simpul-simpul ulama di seluruh Nusantara dari
waktu ke waktu. Perjuangan ulama dan kyai tersebut secara turun temurun terus
dilestarikan, khususnya di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama. Sejak zaman
penjajahan dahulu, ulama-ulama telah berperan aktif dalam perjuangan sebagai
bentuk mereka mencintai tanah air.
Laskar Hizbullah
dan laskar Sabilillah menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan bagi ulama-ulama
dalam membela indonesia. Diantara mereka muncul kiai-kiai yang membela Indonesia
seperti KH. Zainul Arifin, KH. M. Hasyim Latief dan KH. Munasir Ali. Atau seperti
Rais Akbar NU Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Mahfudz
Siddiq, KH. Ma’shum, dan ulama-ulama lainnya.
Peran serta para kyai dalam membakar semangat
para pejuang dan rakyat Indonesia terlihat dalam sebuah Fatwa Jihad yang
terlebih dahulu beredar sebelum lahirnya Resolusi Jihad yang diputuskan lewat
rapat para kyai di Surabaya. Fatwa tersebut ditandatangai oleh Hadlratussyaikh
Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945.
Fatwa tersebut
diantaranya berbunyi:
1. Hukumnya
memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini
adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang yang mungkin meskipun bagi orang
kafir.
2. Hukumnya orang
yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya
adalah mati syahid.
3. Hukumnya orang
yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Berpijak dari
fatwa ini, berkumpullah para kyai dan konsul NU se-Jawa dan Madura di Bubutan,
Surabaya untuk mengkukuhkan fatwa tersebut. Keputusan fatwa itu diiringi dengan
Pidato Rois Akbar KH. Hasyim Asy’ari yang sangat inspiratif untuk melakukan
perlawanan terhadap kolonisme, agar tidak terendus inteligen Belanda (PID),
maka pidato tersebut disampaikan dalam bahasa Arab:
“Maka
sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan
membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada
mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak pada kaum penjajah dan condong kepada meereka,
maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya...
Maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat,
pacunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu...”
Situasai Surabaya
dan sekitarnya pasca tercetusya Fatwa maupun Resolusi Jihad, diwarnai dengna
ketegangan dan sesekali baku tembak antara para pejuang dengan pihak Inggris.
Himbauan para kyai bahwa perjuangan membela kemerdekaan Indonesia adalah bentuk
dari jihad, perang suci begitu efektif untuk membakar semangat juang mereka. Berjuang
melawan Inggris dan belanda tidak
sekedar dimakanai sebagai perjuangan untuk membela kemerdekaan semata, namun
merupakan salah satu cara dan tindakan untuk membela agama Allah.
Dampak dari
Resolusi Jihad ini sungguh luar biasa, ia mampu menjadi pegangan semangat
spiritual bagi sebagian pemuda dan dan pejuang di seluruh Nusantara. Setelah
berita tentang Resolusi Jihad ini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, para kyai
berduyun-duyun mengirimkan santri-santrinya untuk bergabung dengan Hizbullah, Sabilillah
dan badan-badan perjuangan lain. Bahkan tak hanya datang dari Jawa timur saja,
cukup banyak kesatuan Hizbullah, laskar-lasakar, dan para santri dari
pesantren-pesantren dari Jawa tengah dan Jawa Barat untuk turut hadir dan
beruang mempertahankan kemerdekaan.
Pada puncaknya,
pada tanggal 28 Oktober 1945 disebutkan sekitar 20.000 orang Indonesia
bersenjata dan terlatih pada masa jepang dengan didukung dengan tank-tank dan
sekitar 120.000 orang lainnya dengan persenjataan beragam mulai dari senapan,
pedang, tombak, panah, pentungan, dan keris meluapkan kemarahannya kepada pasukan
Inggris dan orang Belanda di kota Surabaya. Lalu pada tanggal 30 Oktober 1945
dalam bentrokan di sekitar gedung internatio, brigjen Mallaby tewas dalam mobil
yang tengah dinaikinya.
Semangat
baru hari santri meneladani Resolusi
jihad.
` Pada 15 September
2015 Presiden Jokowi menandatangani keppres nomor 22 tahun 2015 tentang penetapan
22 Oktober sebagai Hari santri Nasional. Meski awalnya melalui perdebatan yang
cukup panjang dari berbagai golongan tentang tanggal yang tepat untuk dijadikan
Hari Santri Nasional, akhirnya diputuskan jatuh pada tanggal 22 Oktober, hal
ini dilandaskan pada peristiwa 75 tahun yang lalu pada tanggal yang sama yaitu
Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad
menjadi pemantik semangat juang para santri untuk mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari para sekutu yang mencoba merongrong kembali kemerdekaan
bangsa Indonesia. Melalui pesantren dan Nahdhatul Ulama, para kyai khususnya Hadlratussyaikh
Hasyim Asy’ari menamkan nasionalisme dan patriotisme yang kelak mengobarkan api
perlawanan rakyat terhadap kolonialisme yang telah mengakar bertahun-tahun
lamanya. Melalui pengajaran dan fatwa-fatwanya, KH. Hasim Asy’ari menyemai
kesadaran untuk bangkit dan melawan, membebaskan diri dari penjajahan dan pada
akhirnya berhasil menggelorakan revolusi fisik tersebut, dan mempertahankan
NKRI.
Sebuah fatwa
gerakan perlawanan yang mampu membangkitkan keberanaian untuk melakukan
pergorbanan jiwa, raga dan harta. Yang kemudian menjadi konstribusi nyata NU
dalam memacu semangat bangsa Indonesia.
Peringatan hari
santri ini menjadi penegasan dan pengakuan negara bahwa kaum santri memiliki sumbangsih
yang sangat besar untuk negeri, baik sejak zaman kolonial maupun saat ini. Semua
menyadari bahwa pesantren adalah pusat peradaban Isalm di Indonesia yang selalu
setia terhadap bangsa dan negara. “Tidak ada kamusnya pesantren melawan pemerintah yang dipilihnya sendiri.”
Tegas KH. Atho’illah Sholahuddin Anwar saat acara pembukaan halaqah kebangsaan
tanggal 2 Oktober lalu. Karena memang menurut beliau, sejak dahulu pesantren
telah mengajarkan pada santri-santrinya untuk mencintai dan membela tanah air.
Meski sejarah pernah melupakan peran santri duhulu dalam perjuangan bangsa,
namun akhirnya sejarah sendirilah yang membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia
bisa tetap dipertahankan atas perjuangan dan pengorbanan kyai, santri, dan
pesantren.
Disahkannya UU Pesantren,
menjadi hadiah terindah pada hari santri tahun ini, kado tersebut menjadi bukti
bahwa semua mengakui santri dan pesantren memiliki sumbangsih besar dalam
seluruh posisi strategis Indonesia. Dalam pemerintahan, keislaman, kedamaian
dan keamanan maupun dalam era penjajahan kala itu.
UU Pesantren
menjadi angin segar bagi kita semua para santri. Di antaranya, semakin
sempitnya perbedaan antara sekolah umum dan pesantren. Meski pesantren
memmiliki ciri pembelajaran dan kurikulum yang khas dan berbeda dengan sekolah
umum, ijazah kelulusannya memiliki kesetaraan dengan lembaga sekolah formal
lain, atau ini yang lebih kita kenal dengan mu’adalah dan sudah kita
rasakan di Pondok Pesantren Lirboyo bahkan sejak tahun 2018 lalu. Sisi baiknya hal tersebut mengurangi
kesenjangan di mata umum antara lembaga pendididkan formal dan lembaga
pendidikan pesantren dan akan lebih membawa banyak ketertarikan orang tua untuk
memasukan anaknya ke pondok pesantren.
Kedua, pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren
yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan. Dengan demikian
pesantren memiliki akses tetap terhadap 20 persen dari total belanja APBN.
Melali UU Pesantren,
pemerintah telah menaruh harapan besar kepada kaum santri, sudah menjadi
keniscayaan kita pun harus menambah peran dan andil kita untuk bangsa Indonesia.
20 Oktober lalu, seorang santri telah dilantik menduduki kursi wakil Presiden,
dan di masa mendatang mungkin akan ada dari kita kaum santri yang menduduki
kursi nomor satu di Republik Indonesia ini.
Ulama-ulama
terdahulu kita, telah mewarisakan semangat juang yang tinggi turun-temurun
kepada kita. Sejarah telah menjadi bukti nyata untuk itu. Melalui Resolusi
Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari, secara tidak langsung beliau mengajarkan pada
kita semua untuk memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hari Santri Nasional menjadi ajang untuk kita
kembali mengkukuhkan dan mengobarkan kembali api semangat juang itu; semangat
KH. Hasyim Asy’ari, semangat KH. Wahab Hasbullah, semangat kyai Abbas, semangat
Mbah Mahrus Aly dan semangat semua ulama-ulama kita terdahulu.
Posisi dan
peran santri memiliki letak yang sangat strategis dalam era milenial. Santri
dituntut agar lebih mengembangkan keahliannya. Santri tidak hanya pandai
mengaji, tetapi juga menguasai berbagai bidang strategis. Santri adalah jawaban
dari seluruh keresahan-keresahan di seluruh dunia. Santri harus mampu menjawab
tantangan zamannya, baik itu dalam bidang produktif ataupun progesif serta
mampu mengedepankan kepemimpinan nasional untuk kepemimpinan bangsa. Dengan
perjuangan dan pengabdian di sepanjang sejarah, santri akan mampu menjadi garda
terdepan dalam perdamaian dunia. Sesuai dengan tema Hari Santri Nasional tahun
ini: “Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia”
Sekian…
Penulis :
Muhammad Anwarul Mujib
Bruno, Purworejo
Santri PonPes Lirboyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar