Tokoh
Pondok Pesantren
#ceritahorordipesantren
Kesadaran dan cinta tak bisa didefinisikan secara pasti namun dapat dirasakan. Semakin kita berusaha mengartikan, semakin terbatas pula makna yang tersampaikan. Bagaikan berusaha mewadahi air laut dalam cangkir. Kita bisa mengambil air laut itu menggunakan cangkir dan air itu berada di cangkir kita. Pun merasakannya. Namun kita tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa air laut sudah kita gagahi hanya karena bisa menaruh air laut dalam wadah cangkir. Rasa yang tercipta dari ujung lidah mungkin bisa menjadi bekal untuk mengartikan laut. Tapi air yang kita kecap sejatinya telah menipu dengan sistem reseptor dan manipulasi otak. Karena bisa saja air laut berubah menjadi sederet rasa tergantung dibelahan mana dia disajikan. Cinta dan kesadaran berkontradiktif dan proaktif pada saat yang bersamaan. Apakah orang yang jatuh cinta itu sadar? Apakah orang sadar ketika jatuh cinta? Lalu bagaimana memperlakukan keduanya dalam permasalahan mahabbatullah serta anak turunannya? Pencapaian tertinggi manusia adalah tersadar dari ketidaksadaran. Kesadaran menjadi pondasi yang kokoh dalam bangunan yang dinamai mahabbatullah. Kesadaran menuntun manusia kenal dan paham siapa diri kita. Kesadaran pula yang akan menuntun siapa kita dihadapan Tuhan. Mengapa kesadaran tidak menelaah mengenai siapa Tuhan? Kesadaran tidak pernah mencapai titik siapa Tuhan, tapi cinta mampu menjelaskan dengan rinci tanpa koreksi. Jika ada rasa terpaksa dalam diri untuk melakukan aktivitas cinta, maka disitulah letak ketidaksadaran manusia. Mengapa kau shalat? Aku melakukan supaya masuk surga. Terdengar indah namun disana bermukim keterpaksaan. Mungkin juga bisa berdalih atasnama Tuhan dengan mengatakan supaya disayang Tuhan. Tapi percayalah, disanapun ada keterpaksaan lengkap dengan ketidaksadaran. Lihat bagaimana keturunan Nabi Muhammad SAW yang bernama Zainal Abidin, sang pemilik 1000 rakaat harus berkali-kali tak sadarkan diri ketika akan berwudlu. Lihat betapa Ia harus menangis berkali kali setiap hendak mengangkat tangannya untuk bertakbir. Tidak lain berada di tingkatan sadar siapa dirinya, tidak menuntut apapun dari apa yang dilakukan dengan mengartikan Tuhan harus mencintai karena sudah bersujud ribuan kali. Tak ada alasan lain selain cinta. Cinta tak pernah meminta balasan jikapun berbalas itu hak prerogratif dari yang dicintai, akan membalas atau tidak. Sudah sadarkah kita? Disarikan dari anatomi pikiran karya Ruben Osborn yang dikawinkan dengan konsep tauhid. . #PojokBerkah #AISNUsantara #AISJawaTengah #IndonesiaLebihNyantri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar