Oleh: MohammadAinurrofiqin*
Tidak jemu-jemunya saya menulis tentang radikalisme dan bahayanya, meskipun kita mungkin sudah lelah mendengar dan membaca begitu banyak tulisan perihal ini. Ada baiknya kita lelah hari ini daripada nantinya kita akan banyak dilelahkan oleh teror-teror yang dilancarkan kelompok-kelompok radikal yang telah menjamur di negera kita. Tanpa sadar, negara kita menjadi rumah yang nyaman bagi kelompok ini, hingga sebagian dari kita masih merasa baik-baik saja dan menganggap radikalisme itu biasa-biasa saja. Tidakkah kita mulai berpikir dan mencari solusi akan virus ini?
Radikal, kata yang sudah tidak asing
lagi di telinga kita. Dewasa ini kita sering mendengar gerakan radikal, dan
yang paling santer terdengar adalah berkaitan dengan satu atau lebih kelompok
militan yang mengatasnamakan Islam. Sebelum bicara jauh tentang radikalisme, mari
kita kaji terlebih dahulu makna radikal. Radikal berasal dari
bahasa Latin radix yang artinya akar. Dalam bahasa Inggris, kata radical
dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra, dan
fundamental (Hornby, 2000). Dalam KBBI, radikal memiliki makna amat keras menuntut
perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan maju dalam berpikir atau
bertindak.
Dalam diskursus lain, Sarlito Wirawa
(2012) mengatakan dalam bukunya Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan
Psikologi, bahwa radikal adalah bentuk afeksi atau perasaan yang positif terhadap
segala sesuatu yang bersifat ekstrem sampai ke akar-akarnya. Sikap radikal akan
mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu
kepercayaan, keyakinan, agama, atau ideologi yang dianutnya.
Sementara itu, radikalisme
bisa diartikan sebagai doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham
ekstrim (Nuh, 2009). Sartono
Kartodirdjo (1985) mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak
secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh
kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang
memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa. Memang, radikalisme sering
dimaknai berbeda di antara kelompok kepentingan. Dalam lingkup keagamaan,
radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara
total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan
(Rubaidi, 2007).
Penyusunan predikat “radikal” dapat dikenakan pada
pemikiran, yang kemudian ada istilah “pemikiran radikal”, dapat juga pada
gerakan, yang kemudian disebut “gerakan radikal”. Dari berbagai pandangan
seputar radikalisme, dengan demikian dapat ditarik garis bawah bahwa radikalisme
diartikan sebagai sebuah paham atau aliran keras yang ingin melakukan sebuah
perubahan sosial atau politik yang ditandai dengan tindakan-tindakan keras,
ekstrem, cepat, dan drastis.
Menilik tafsir radikalisme dari
berbagai macam pandangan di atas, kita tidak bisa menutup mata bahwa
gejala-gejala (bahkan berujung pada aksi) yang timbul di masyarakat memang
terjadi adanya dan tentu ini sangat berbahaya. Tafsir radikalisme yang telah
dipaparkan memang sejalan dengan apa yang terjadi belakangan ini, bahkan bukan
hanya bergerak berdasarkan urusan politik, tetapi juga agama yang kemudian
disebut sebagai radikalisme agama.
Dilihat dari sudut
pandang keagamaan, radikalisme mengacu pada paham keagamaan yang dogmatik, pondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme yang sangat tinggi, kemudian penganut
dari paham tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham untuk
mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianutnya untuk diterima secara paksa. Tujuannya jelas,
mengadakan perubahan sampai ke akarnya dengan metode kekerasan serta menentang
struktur masyarakat yang ada dengan landasan berpikir sepihak untuk membenarkan
adanya rasa ketidakpuasan dan mengintrodusir inovasi-inovasi.
Dalam disertasi yang ditulis oleh
Abror (2016), radikalisme agama sendiri sejatinya sudah ada sejak abad 16-19 M.
Dua agama yang paling utama mengakarinya ialah antara Islam dan Kristen yang
saling berebut kejayaan di masa itu. Perang Salib hanyalah secuil buah dari
radikalisme agama yang disemai kala itu. Namun, fenomena radikalisme agama tidak
hanya menjalar pada Islam atau Kristen saja. Sebagaimana yang ditulis oleh
Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God (2000), radikalisme
juga ada dalam Hindu dan Yahudi. Bahkan fakta terbaru memperlihatkan adanya
radikalisme dalam pengikut Buddha. Radikalisme agama memang terjadi di semua agama. Radikalisme Islam
misalnya, dapat dikenali dengan adanya gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinannya.
Kita bisa mengidentifikasi paham radikalisme ini
dengan mengenali ciri-ciri yang terdapat pada kelompok radikal. Sedikitnya, ada
tiga ciri radikalisme yang tertuang dalam tulisan Irwan Masduqi (2012), antara
lain adalah sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain
yang tidak sependapat, kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara, dan
emosional dalam berdakwah, serta mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda
pendapat.
Dalam radikalisme Islam, Rubaidi (2007) menguraikan dengan
sedikitnya tiga ciri gerakannya. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi
final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan.
Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi Timur Tengah secara apa adanya
tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadis
diturunkan. Selanjutnya adalah berseberangan dengan masyarakat luas termasuk
pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik
dengan kelompok lain, termasuk pemerintah.
Kemunculan radikalisme Islam tidak lepas dari faktor
pemahaman agama yang literal, artifisial, dan formalistik dengan bersikap kaku
dalam memahami teks-teks agama. Kajian terhadapa agama hanya dipandang secara
tekstual dan monolitik (tidak melihat dari pandangan lain). Faktor lain yang
berpengaruh adalah rasa frustasi
terhadap ketidakadilan sosial yang kemudian direspon dan diekspresikan dengan tuntutan
penerapan syariat Islam versi pemahaman kelompok radikal. Kemudian mereka
merasakan bahwa tuntutan mereka tidak diindahkan oleh negara sehingga akhirnya
memilih jalan memaksa dan cara-cara kekerasan.
Di kalangan Islam, menurut Azyumardi
Azra (2011), masalah radikalisme banyak bersumber dari pemahaman keagamaan yang
sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Alquran dan Hadis, bacaan yang salah
terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan
terhadap umat Islam pada masa tertentu (misalnya gerakan Salafi), serta deprivasi
politik, sosial, dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat
yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial budaya, dan ekses globalisasi, dan
semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan
kelompok-kelompok radikal.
Merebaknya radikalisme kemudian
membuat penulis mengajak para pembaca untuk mencari solusi bersama akan
“kejahatan besar” ini. Fenomena radikalisme Islam telah terjadi secara nyata di
kalangan pemuda, terutama di kampus-kampus besar yang merupakan sebuah
kecolongan besar bagi Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alvara
Research Center-Mata Air Production pada Oktober 2017 sangatlah mencengangkan,
bahwa dari 1.800 responden mahasiswa di 25 perguruan tinggi di Indonesia, 23,5
persen mengatakan siap mendukung gerakan ISIS, 17,8 persen mengatakan bahwa
bentuk pemerintahan yang ideal adalah khilafah bukan NKRI, dan 23,4 persen siap
untuk berjihad mendirikan khilafah. Mengerikan bukan?
Lagi, data hasil penelitian yang
dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta-Convey Indonesia pada September-Oktober 2017,
dari 1.522 responden siswa dan 337 mahasiswa di 34 provinsi, 58,5 persen
menyebut pandangan keagamaan Islam siswa dan mahasiswa adalah radikal dan hanya
20,1 persen yang moderat. Kemudian, 37,71 persen mengatakan setuju bahwa jihad
adalah bentuk perang melawan nonmuslim. Dan yang sangat disayangkan lagi
adalah, 50,8 persen penyumbang informasi dan pengetahuan agama Islam berasal
dari internet. Miris!
Tidak dipungkiri lagi bahwa kemungkinan
buruk selanjutnya, sesuai premis awal tentang radikalisme, bahwa Indonesia akan
mengalami benturan fisik, pembunuhan antaragama, peperangan, dan tindakan
mengerikan lain. Penulis yakin tidak akan ada di antara para pembaca yang menginginkan
hal seperti itu terjadi di Indonesia. Tulisan saya mungkin hanya sedikit
peringatan untuk kita bersama bahwa radikalisme itu nyata adanya, dan negara
kita tidak sedang baik-baik saja. Sederhananya, kita semua pasti menginginkan kedamaian,
lantas untuk apa harus ada pertikaian?
*Penulis adalah Duta Damai Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme RI, Aktivis Muda Nahdlatul Ulama, Pemuda Pelopor Jawa
Tengah, Direktur Java Literacy School, Sahabat AIS Nusantara, Santri
Referensi
Abror,
M. 2016. Radikalisasi dan Deradikalisasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Menengah Atas: Studi Multi Kasus di SMAN 3 Lamongan dan SMK NU Lamongan. Disertasi.
Surabaya: UIN Sunan Ampel. 24.
Azra, A. 2011. Akar Radikalisme Keagamaan Peran Aparat
Negara, Pemimpin Agama, dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama. Makalah
dalam Workshop “Memperkuat Toleransi Melaluai Institusi Sekolah” oleh The
Habibie Center, 14 Mei 2011, di Hotel Aston Bogor.
Hornby, A.S. 2000. Oxford Advenced Dictionary of Current
English. UK: Oxford University Press. 691.
Kartodirdjo, S. 1985. Ratu Adil. Jakarta: Sinar
Harapan. 38.
Masduqi, I. 2012. Deradikalisasi Pendidikan Islam
Berbasis Khazanah Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam. No 2 Vol 1. 3.
Nuh, N.M. 2009. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya
Paham/Gerakan Islam Radikal di Indonesia. Jurnal Multikultural dan
Multireligius. Vol VIII Juli-September 2009. 36.
Rubaidi, A. 2007. Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama
Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka. 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar